Friday, November 19, 2010

Balinisasi, tonggak awal kehancuran kedua Hindu Nusantara



Pada awal kemerdekaan, Kementrian Agama RI masih menganggap penganut Hindu sebagai kaum pemuja berhala dan pengikut sistem keyakinan primitif. Masyarakat Hindu masih berdiri sendiri tanpa ada wadah yang menaunginya. Sangat berbeda dengan Islam dan Kristen yang pada saat itu sistem organisasi keagamaannya sudah sangat mapan. Sehingga tidaklah mengherankan jika pada awal-awal kemerdekaan, Hindu di bumi Nusantara seperti hilang ditelan bumi. Satu-satunya pengaruh Hindu yang masih kelihatan menyala redup hanyalah di pulau Bali. Hindu di Bali beruntung karena diselamatkan oleh sistem banjar, desa pekraman, dadia dan berbagai organisasi-organisasi tradisional kecil lainnya.

Disaat keberadaan agama leluhur Nusantara ini tidak diakui oleh Negara dan adanya usaha pemberhangusan oleh sekelompok oknum, beruntunglah masih ada segelintir tokoh-tokoh yang dengan gigihnya memperjuangkan agar sistem kepercayaan sebagaimana yang berkembang di Bali dapat diakui keberadaannya oleh Negara. I Gusti Bagus Sugriwa merupakan salah satu cendikiawan Bali yang dengan getolnya berjuang ke tingkat pusat pada saat itu. Akhirnya pada tanggal 29 Juli 1958, lima orang wakil berbagai organisasi Hindu yakni Ida Pedanda Kemenuh, I Gusti Ananda Kusuma, Ida Bagus Dosther, Ida Bagus Wayan Gede, dan I Ketut Kandia serta didampingi oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bali I Gusti Putu Merta menghadap presiden RI, Ir. Sukarno di Istana Tampaksiring. Atas kebijakan presiden, Kementrian Agama akhirnya mengakui keberadaan sistem kepercayaan yang ada di Bali dengan menyebutnya sebagai agama Hindu Bali.

Meskipun secara nasional Hindu di Bali sudah diakui, ternyata akibat perubahan susunan pemerintahan kerajaan ke demokrasi menyebabkan sistem keagamaan di Bali menjadi carut marut. Hal ini diakibatkan oleh sistem pengaturan keagamaan yang sebelumnya dipegang secara penuh oleh kerajaan. Sementara itu paska kemerdekaan, peran kerajaan sangat dibatasi dan raja sudah tidak memiliki kekuasaan apa-apa lagi. Ketiadaan payung yang jelas, mengakibatkan satu desa pekraman dengan desa pekraman yang lainnya sama sekali tidak terkoordinasi dan efeknya, praktik-praktik keagamaan yang dilakukan juga kelihatan tidak bersesuaian.

Berawal dari gagasan Ida bagus Puniatmadja dan Ida Bagus Mantra waktu mereka sama-sama kuliah di India, dan berkat kerja keras para cendekiawan dan sulinggih selama 3 hari (21-23 Februari 1959) dalam mengadakan paruman, akhirnya mereka berhasil membentuk Parisada Hindu Dharma Bali (PHDB) yang diharapkan bisa menaungi sistem keagamaan Hindu di seluruh Bali. Piagam Parisada kala itu disepakati oleh 11 sulinggih dan 22 walaka. Lahirnya Parisada Hindu Dharma Bali berhasil melonggarkan sekat-sekat pemisah yang sangat kental antara satu daerah dengan daerah lainnya di Bali. Semua masyarakat Hindu Bali dapat berbaur dalam satu visi dibawah organisasi yang baru ini.
Setelah berselang beberapa lama, akhirnya para tokoh-tokoh Hindu menyadari bahwa di Indonesia agama Hindu tidak hanya ada di Bali, tetapi menyebar di berbagai daerah dengan keanekaragaman buadaya dan adat-istiadatnya. Karena itulah pada Mahasabha ke V yang berlangsung tanggal 24 sampai dengan 27 Februari 1986, Parisada Hindu Dharma Bali berubah nama menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Dengan demikian mulai saat itu organisasi Hindu yang awalnya hanya bertujuan menaungi Hindu Bali tumbuh menjadi organisasi berskala nasional. Akibatnya, di berbagai daerah di Indonesia mulai banyak tumbuh bermunculan kelompok-kelompok masyarakat yang mengklaim diri mereka secara resmi sebagai Hindu. Bahkan di daerah Solo dan Klaten, muncul tokoh Jawa yang terang-terangan memasang pengumuman yang berisi ”lowongan” masuk Hindu. Lowongan ini ternyata mendapat sambutan yang sangat antusias dari masyarakat setempat kala itu, sehingga jumlah pengikut Hindu membludak bak jamur yang tumbuh di musim hujan.

Didorong oleh keharusan memeluk salah satu dari lima agama yang diakui negara, selain di Jawa, masyarakat Dayak di Kalimantan, sekelompok suku Batak di Sumatra Utara, para etnis Tamil, sekelompok masyarakat di Maluku dan di berbagai wilayah lainnya mendeklarasikan dirinya sebagai Hindu. Pilihan mengakui diri sebagai Hindu mereka ambil karena menurut mereka ajaran Hindu sanggup mewadahi dasar-dasar kepercayaan turun-temurun yang mereka anut. Ambilah contohnya kalangan suku Dayak yang sangat getol dengan tradisi pemujaan leluhurnya. Jika mereka mengklaim diri sebagai Islam, maka mereka harus menghapuskan tradisi pemujaan leluhur karena mungkin dianggap syirik. Jika mereka masuk Kristen atau Katolik, maka mereka harus menghilangkan keyakinan mereka akan reinkarnasi yang notabena tidak diimani dalam kedua agama ini. Sehingga kala itu yang paling dekat dengan sistem kepercayaan yang mereka anut hanyalah Hindu.
Dalam perkembangannya, ternyata Hindu dari etnis Bali-lah yang lebih memegang kendali. Parisada Hindu Dharma Indonesia dan perwakilan Hindu di Departemen Agama ternyata selalu didominasi oleh umat Hindu etnis Bali. Orang-orang Bali-pun berdiaspora dengan cepat ke berbagai daerah di Nusantara. Mereka umumnya sukses menjadi tokoh-tokoh panutan bagi umat Hindu etnis non-Bali karena mereka dianggap lebih mampu dalam pemahaman agama. Sayangnya posisi stategis seperti ini oleh sebagian oknum tidak disikapi dengan bijak. Merek lupa akan ketetapan-ketetapan Mahasabha ke-5 Parisada dalam merangkul Hindu yang plural di Nusantara. Sangat jarang umat Hindu Bali yang peka terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka sering kali mengidentikkan Hindu sebagai Bali, sehingga mereka sering kali berusaha melakukan Balinisasi terhadap Hindu. Mereka membuat bangunan tempat suci ala Bali di luar Bali tanpa memandang tradisi dan budaya setempat. Mereka mengimport bebantenan, tata upacara, para sulinggih dan segala kebudayaan Bali. Akibatnya, para penganut Hindu setempat menjadi asing di daerahnya sendiri. Mereka seolah-olah secara soft dipaksa meninggalkan budaya dan tradisi leluhurnya dan menjadikan Hindu Bali sebagai standar Hindu Nasional yang harus diikuti.

Sebagaimana terjadi di Palangkaraya, disana terdapat sebuah bangunan pura ala Bali yang sangat megah. Pura tersebut dibangun oleh beberapa perantau Hindu Bali yang bekerja baik di bagian birokrat maupun swasta. Disana juga bermukim orang-orang Hindu etnis Dayak yang tentu saja tidak kalah banyaknya dengan Hindu Bali. Dikala kegiatan persembahyangan purnama-tilem dan kegiatan keagamaan lainnya, para Hindu Dayak sering kali “dipaksa” datang ke Pura dengan berbagai atribut kebaliannya. Sementara saat masyarakat Hindu Dayak melakukan upacara keagamaan sesuai tradisi leluhur mereka, sangat jarang umat Hindu Bali yang mau ikut berpartisipasi dan melebur diri dalam tradisi mereka. Hal ini sudah pasti menimbulkan kecemburuan sosial dimana para penganut Hindu suku Dayak ini merasa terpinggirkan dan tidak dihargai.
Gencarnya Balinisasi juga diakibatkan oleh kurikulum pendidikan agama Hindu di Indonesia yang didominasi oleh ajaran-ajaran yang berbau kebali-balian. Tentu saja hal ini terjadi karena tokoh-tokoh penyusun kurikulumnya didominasi oleh orang Bali. Disamping itu, akibat minimnya sumber daya manusia non-Bali, dengan sangat terpaksa tenaga-tenaga pengajar agama Hindu di luar Bali lagi-lagi harus diimport dari Bali. Sehingga jika para tenaga pengajar ini tidak aware terhadap tradisi budaya lokal setempat, mereka bisa jadi akan menjadi agen pembinasahan local genius yang ada.

Ternyata baik secara langsung maupun tidak langsung, proses derasnya Balinisasi ini mengakibatkan surutnya pemeluk Hindu etnis non-Bali. Sebagaimana yang terjadi pada beberapa penganut Hindu suku Dayak. Banyak di antara mereka pada akhirnya eksodus meninggalkan Hindu dan memilih masuk agama lain. Dari beberapa sumber lisan, banyak Hindu Dayak yang akhirnya masuk agama Katolik. Kenapa mereka memilih masuk Katolik kalaupun dasar keyakinan leluhur mereka lebih dekat dengan Hindu? Setidaknya dari hasil diskusi saya dengan seorang teman, ternyata jawabannya bukan pada masalah keyakinan, tetapi masalah penghargaan terhadap tradisi budaya lokal mereka. Mereka merasa lebih nyaman dan dihargai oleh para misionaris Katolik. Para misonaris bersedia merangkul mereka secara utuh tanpa harus memberhanguskan kepercayaan asli. Mereka hanya diarahkan untuk meyakini Yesus sebagai Tuhan juru selamat dan mensintesiskannya kedalam sistem keyakinan yang sudah ada. Sehingga meskipun secara de yure agama mereka berubah, namun secara de fakto mereka seolah-olah tidak terusik.
Kesuksesan para misionaris Katolik dalam melakukan konversi di beberapa daerah yang lain seperti di Jawa dan beberapa tempat di Bali juga ternyata menggunakan “senjata” yang sama. Umat Katolik di Jawa sangat identik dengan prosesi adat Jawa, sendang (mata air) yang dianggap suci, gua yang diidentikkan dengan gua maria dan mereka juga mengadopsi sangat banyak ritual-ritual yang pada dasarnya merupakan turunan dari ritual Hindu. Di Bali, para misionaris melakukan kamuflase dengan membuat bangunan Gereja yang tidak ubahnya dengan Pura umat Hindu Bali. Bedanya, mereka hanya meletakkan tanda salib di pura tersebut dan menyebut Tuhan mereka sebagai Sang Hyang Yesus sebagai pengganti Sang Hyang Widhi. Banten dan beberapa upacara dasar juga mash tetap mereka gunakan.

Apa yang dapat kita petik sebagai pelajaran dari kejadian ini? Tidak ubahnya seperti hukum Newton pertama, manusia juga cenderung memiliki efek lembam. Yaitu efek yang cenderung mempertahankan kondisi awalnya. Sehingga tidaklah mengherankan jika kita berusaha melakukan perubahan terhadap sesuatu termasuk diri sendiri, akan terjadi pertentangan dan perlawanan yang hebat meskipun perubahan yang kita lakukan ke arah yang benar dan lebih baik. Itulah sebabnya perubahan yang cepat (revolusi) selalu diwarnai oleh kondisi chaos dalam masyarakat. Namun sangat berbeda halnya jika perubahan ini dilakukan sedikit demi sedikit dalam waktu yang lama (evolusi). Meski harus memakan waktu, namun perubahan yang terjadi tidak akan menimbulkan konflik yang berarti dan menghasilkan output yang permanen. Para misionaris Katolik sangat memahami hal ini sehingga mereka tidak berusaha melakukan revolusi, tetapi melakukan evolusi dalam menginjeksikan ajarannya. Pada generasi pertama suatu masyarakat menjadi pengikut Katolik, mungkin mereka hanya Katolik di KTP saja, tetapi lambat laun melalui proses pembelajaran secara bertahap ke generasi berikutnya, pada akhirnya akan dihasilkan pemeluk Katolik yang benar-benar taat pada ajaran agamanya.
Orang Hindu-pun harus belajar dan mencontoh para misionaris Katolik. Apa lagi pada kenyataannya Hindu jauh lebih fleksibel dari agama-agama manapun. Hindu tidak mengajarkan penyebaran dharma dengan menonjolkan sisi kulitnya. Melainkan yang terpenting adalah substansi ajarannya. Sangat tidak bijak jika usaha penanaman ajaran Hindu harus diikuti dengan “pemaksaan” terhadap bentuk bangunan tempat suci, pakaian dan bebantenan yang notabena merupakan local genius masyarakat Bali. Karena meskipun Bali mayoritas Hindu, namun Hindu bukanlah Bali. Hindu Bali tidak bisa dijadikan standar dalam penerapan ajaran Hindu di Indonesia. Aturan ini juga berlaku pada usaha-usaha Indianisasi di Nusantara. Berbagai sampradaya Hindu yang masuk ke Indonesia baik yang langsung datang dari India maupun dari daerah lain mengalami penolakan hebat lebih dikarenakan adanya proses “revolusi kulit luar”, bukan karena substansi ajaran filsafatnya. Karena itu, sudah saatnya para “dharma defender” merubah stategi dan metode pengajarannya dengan mengesampingkan kulit dan mengedepankan substansi.

Thursday, November 18, 2010

UMAT HINDU MEMUJA PATUNG?



Umat Hindu memuja patung? Memuja batu? Memuja berhala dan menyekutukan Tuhan?
Ini adalah pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan yang sering dilontarkan oleh saudara-saudara kita yang kebetulan memang kurang dan kering pengetahuannya. Mereka melihat umat hindu sembahyang di depan padmasana, melihat umat hindu sembahyang di depan arca/patung-patung Dewa/Tuhan, melihat tempat sembahnyang umat hindu dihiasi dengan berbagai ukiran binatang.

Apa benar Hindu pemuja binatang, berhala dan menyekutukan Tuhan?
Tentunya kita semua pernah melakukan upacara bendera bukan? Terlepas apapun suku, agama dan kedudukannya setiap orang melakukan penghormatan pada bendera dan diiringi dengan lagu kebangsaan. Pertanyaannya, kenapa mereka semua menghormati sebuah kain yang secara material harganya tidak lebih dari pakaian yang sedang kita pakai? Apakah mereka kurang waras? Jika anda mengatakan mereka kurang waras, maka sejujurnya andalah yang tidak waras. Kenapa? Pikiran anda sempit dan picik. Anda tidak bisa mengerti arti dari nilai intrinsik bendera tersebut. Kita hormat kepada bendera adalah sebagai wujud penghormatan kita pada bangsa dan negara yang abstak, sama sekali bukan karena kita memberhalakan kain yang dibentuk sedemikian rupa menjadi bendera tersebut.

Nah, sama halnya dalam hal spiritual. Tuhan adalah sosok yang abstak. Tidak semua orang memiliki kualifikasi untuk melihat Tuhan. Bahkan mungkin hampir semua orang tidak dapat melihat Tuhan secara langsung, kita hanya dapat merasakan keberadaan beliau melalui kebesaran-kebesaran ciptaannya. Oleh karena panca indra kita adalah panca indra material yang hanya bisa menangkap objek-objek material, maka kita perlu penghubung antara yang material ini dengan beliau, Tuhan yang spiritual melalui perantara suatu objek yang dapat dijadikan objek konsentrasi.

Sekarang kita tanya umat muslim, kenapa mereka sembahyang menghadap ke Ka’bah? Apakah mereka memuja Batu Ka’bah? Kenapa umat nasrani melakukan kebaktian menghadap altar yang disana terdapat tanda Salib dan patung Yesus/Bunda Maria? Apakah mereka memuja Salib atau Patung?
Tentunya mereka semua akan menjawab “Tidak” bukan? Terus kenapa mereka mencap Hindu memuja berhala sementara mereka mempraktekkan hal yang sama?
Harus kita maklumi kalau sebagian dari mereka masih sangat kurang dan kering pengetahuannya.


Thursday, November 11, 2010

Sistem Wangsa sebagai Sumber Pemicu Konflik

Setelah kerajaan Majapahit runtuh sekitar abad ke-15, Bali menjadi benteng terakhir bertahannya agama Hindu. Pada masa ini, Dang Hyang Nirartha yang berasal dari Majapahit diterima dan diangkat sebagai guru dan pendeta kerajaan pada masa pemerintahan raja Dalem Batur Enggong di Bali. Atas restu dari raja Dalem Batur Enggong, Dang Hyang Nirartha melakukan pembaharuan terhadap sistem sosial religius masyarakat Bali. Tatanan desa pakraman yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-10 Masehi, diperbaharui oleh Dang Hyang Nirartha menjadi sistem wangsa yang secara luas lebih dikenal sebagai sistem kasta. Tujuannya adalah untuk mengukuhkan kekuasaan pemerintahan feodalisme yang dipengaruhi oleh pola kerajaan Majapahit. Sayangnya, hanya anggota tiga golongan pertama yang mendapat pengakuan dan perlakuan terhormat  dalam masyarakat, dengan sebutan Tri Wangsa. Penyimpangan yang dilakukan dalam sistem wangsaini adalah penggolongan masyarakat didasarkan pada status kelahiran dan garis keturunan seseorang, bukan berdasarkan bakat, sifat, dan pekerjaan seseorang seperti pada konsep Catur Varna menurut Veda.

Penyimpangan tersebut terlihat pada fakta bahwa keluarga Dang Hyang Nirartha dan seluruh keturunannya diangkat menduduki golongan brahmana;  keluarga Raja Dalem Batur Enggong beserta keturunannya mendapat status sebagai golongan ksatria; para arya atau senapati dan prajurit pengikut Dang Hyang Nirartha dari Majapahit menjadi para waisya; sedangkan para pemimpin kerajaan-kerajaan lain di Bali yang tunduk kepada Raja Dalem Batur Enggong menjadi diberi label sebagai golongan sudra. Diskriminasi terlihat jelas pada  para warga pemberontak yang merupakan penduduk asli Bali,  dianggap sebagai warga jaba atau diluar sistem kasta.

Konsep desa pakraman yang telah menjadi struktur sosial-religius umat Hindu di Bali pada masa itu, dibebani dengan sistem ”kasta”, dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaan raja.Pakraman juga dibebani dengan tafsiran agama yang berbasiskan pada status kasta. Sehingga upacara-upacara keagamaan (yajna) yang dilakukan berubah menjadi ajang adu gengsi dan pamer status untuk menunjukkan kasta seseorang. Dalam masa itu Dang Hyang Nirartha dan Raja Dalem Batur Enggong mengeluarkan banyak babad dan purana yang mengatur tentang pelaksanaan upacara atau ritual bernafaskan kasta atau wangsa. Dalam babad-babad seperti itu disebutkan bahwa hanya para pedanda atau brahmana keturunan Dang Hyang Nirartha yang boleh menjadi pemimpin upacara keagamaan. Upacara-upacara agama ditandai dengan mempersembahkan sarana sesajen dan persembahan yang menelan biaya mahal. Semakin megah dan semakin banyak ragam sesajen yang disediakan, semakin tinggi status sosialnya dalam masyarakat.
Tradisi yajna atau upacara keagamaan yang berdasarkan status kasta dan gaya kepemilikan individu atas tanah tersebut saat ini semakin menunjukkan sisi buruknya. Demi status kasta, untuk melaksanakan yajna, masyarakat Bali terpaksa harus menjual tanahnya. Penjualan tanah sebagai aset kekayaan yang sangat penting itu sering berakibat terjadinya proses pemiskinan. Anehnya, para brahmana keturunan tersebut tidak pernah berupaya untuk melakukan revitalisasi terhadap penyimpangan ini. Sebagian dari mereka justru larut dalam budaya seperti itu. Sebab secara ekonomi, mereka (brahmana) mendapatkan keuntungan dari pelaksanaan upacara besar-besaran. Hal ini terjadi, karena berbagai sarana upakara dan sesajen yang dibutuhkan dalam pelaksanaan ritual harus dibeli dari para pedanda tersebut.

Upaya melestarikan sistem kasta tersebut juga masih terlihat dengan jelas dalam berbagai praktek keagamaan masyarakat Hindu di Bali pada zaman modern ini. Hal ini terlihat pada pelaksaan upacara-upacara keagamaan besar yang hanya boleh dipimpin oleh para pedanda(pendeta) yang disebut sebagai Tri Sadhaka. Tri Sadhaka adalah sebutan bagi para pendeta yang merupakan Pedanda sekte Siwa, Pedanda sekte Buda, dan Pedanda sekte Bujangga Wesnawa, yang bertugas memimpin rangkaian upacara-upacara besar keagamaan di Bali. Dari berbagai sekte yang pernah berkembang di Bali, ketiga sekte inilah yang terbesar dan masih berpengaruh hingga kini. Menurut tradisi turun temurun, hanya para brahmana yang berasal dari tigawangsa inilah yang boleh memimpin upacara-upacara tersebut. Namun karena penetapan pendeta pemimpin upacara itu sangat bernuansa kasta, terjadilah upaya pelurusan yang dilakukan oleh generasi muda Hindu. Mereka menganggap, semua pendeta yang memenuhi kualifikasi kesuciannya dapat memimpin upacara itu, tidak peduli kedudukan dan status sosialnya dalam masyarakat. Contoh kasus aktual sehubungan dengan hal tersebut muncul pada saat pelaksanaan upacara Labuh Gentuh dan Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih yang puncak acaranya pada dilaksanakan pada tanggal 18 April 2000 (Majalah Hindu Raditya, Juni 2000). Kemelut terjadi pada saat penentuan siapa yang boleh menjadi sulinggih atau pemimpin upacara tersebut. Sesuai keputusan PHDI Pusat No 102 Um/IV/B/PHDIP/2000 menetapkan bahwa semua sulinggih (sarwa sadhaka) berhak menjadi pemimpin upacara. Namun dalam prakteknya, hanya para pedanda dari Tri Wangsa saja yang dianggap sebagai pemimpin upacara yang sah, sedangkan pendeta dari soroh lain hanya dianggap membantu ”kerja bhakti”.  Penetapan siapa yang boleh menjadi pemimpin upacara dalam upacara-upacara di Pura Besakih itu, seolah-olah menjadi penyakit kronis yang selalu mengundang pertengakaran umat Hindu di Bali setiap tahun. Sebagian komunitas umat yang menyadari penyimpangan yang terjadi dalam praktek keagamaan tersebut berupaya melakukan koreksi. Namun hal itu berakibat pada terjadinya perselisihan paham diantara komunitas-komunitas umat Hindu di Bali.

Masih adanya pengaruh sistem kasta hingga saat ini pada kehidupan umat Hindu di Bali, tercermin pada kasus terjadinya konflik pada tubuh lembaga Parisada Hindu Dharma Indonesia. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) merupakan lembaga tertinggi umat Hindu di Indonesia yang bertugas mengayomi, membina dan memajukan umat Hindu Indonesia. Namun dalam perjalanannya sejak tahun 1959,   lembaga ini masih diwarnai oleh nuansa feodalisme dalam tubuh kepengurusannya. Beberapa posisi kepengurusan masih wajib diisi oleh parasulinggih yang merupakan keturunan dari Tri Wangsa.

Perpecahan umat Hindu akibat masih kuatnya pengaruh sistem kasta dalam tubuh kepengurusan PHDI, mencapai pucaknya dalam  kasus PHDI Propinsi Bali tahun 2001 (Bali Post, 21/11/2001). Tanpa persetujuan pihak PHDI Pusat, PHDI Tingkat I Propinsi Bali melaksanakan pertemuan pengurus atau Lokasabha IV yang dilaksanakan di Pura Gunung Lebah, Campuhan,  Kabupaten Gianyar, pada tanggal 23 November 2001. Lokasabha tersebut sejak awal telah ditentang banyak kalangan Hindu. (Bali Post, 23/11/2001). Ratusan umat Hindu melakukan aksi unjuk rasa di halaman Gedung Jayasabha, tempat kediaman resmi gubernur Bali. Alasan umat Hindu tidak menyetujui pelaksanaan lokasabha PHDI Bali di Campuhan tersebut adalah karena dalam pelaksanaan maupun susunan kepengurusan yang terbentuk tidak mewakili seluruh aspirasi dan komponen umat Hindu yang ada di Bali (Koran Tempo, 25/02/2002). Hal itu berbuntut pada tidak diakuinya kepengurusan PHDI Lokasabha Campuhan tersebut oleh PHDI Pusat yang dituangkan dalam Surat PHDI Pusat No. 11/Um.02/Parisada Pusat/XI/2001 (Bali Post, 29/01/2002). Alasannya adalah pelaksanaan lokasabha tersebut tidak berdasarkan prinsip kesetaraan, demokrasi, dan keadilan, serta tidak mengakomodasi aspirasi segenap komponen umat Hindu.

Menurut Putra (2002), kemelut yang terjadi pada PHDI Bali sesungguhnya berawal dari kelemahan yang cukup mendasar dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD & ART) Parisada hasil Mahasabha VIII bulan September 2001.  Kelemahannya adalah tidak diberikannya definisi secara jelas berbagai istilah penting, sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan berbagai penafsiran dalam penerapannya. Putra mencontohkan, adanya istilah ”sampradaya” dan ”komunitas umat”. Keduanya adalah istilah-istilah yang baru bagi umat Hindu, dan tidak dapat dipahami secara jelas.

Istilah ”sampradaya” dan ”komunitas umat” sesungguhnya dimaksudkan untuk membungkus istilah ”soroh” yang merupakan pengelompokkan warga Bali berdasarkan garis keturunan (ikatan geneologis) para leluhurnya. Ada ratusan soroh dalam umat Hindu di Bali. Menurut Putra (2002) istilah soroh sering dipandang secara negatif sebagai pengelompokkan orang berdasarkan keturunan/ikatan geneologis yang sesungguhnya merupakan perwujudan sistem kasta. Pengikut sertaan utusan soroh sebagai peninjau dalam kegiatan Mahasabha PHDI, memberikan ketidakjelasan, terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya dalam organisasi Parisada. Jelasnya, soroh mana saja yang berhak menjadi peninjau yang memiliki hak bicara dan dapat dipilih sebagai pengurus PHDI? Mengingat di Bali terdapat ratusan soroh, sedangkanmenurut pemberitaan media masa, hanya beberapa soroh tertentu yang diundang untuk menjadi peserta atau peninjau, misalnya soroh Pasek, Pande, dan Bujangga Waisnawa. Kecemburuan timbul pada soroh-soroh yang lainnya. Sebaliknya, bila seluruh soroh diundang sebagai peserta atau peninjau dalam  Mahasabha atau Lokasabha PHDI, dikuatirkan musyawarah lembaga tertinggi umat Hindu tersebut hanya akan menjadi ajang konflik kepentingan berbagai soroh.

Sedangkan sampradaya adalah istilah untuk menyebut sebagian warga umat Hindu yang membentuk kelompok studi spiritual dan mempraktekkan ajaran-ajaran agama Hindu  yang praktek keagamaannya lebih menekankan  pada   pelaksanaan aspek-aspek spiritual. Ajaran-ajaran tersebut berkembang dan ditekuni oleh sebagian umat Hindu di Indonesia, sebagai hasil dari interaksi dan komunikasi sebagian generasi muda Hindu di Indonesia dengan komunitas-komunitas spiritual yang ada di India. Ajaran sampradaya-sampradaya tersebut umumnya lebih dekat dengan ajaran-ajaran Veda yang sesungguhnya, dan tidak banyak dikaburkan dengan pengaruh adat-istiadat seperti yang terjadi pada agama Hindu Bali. Contoh-contohsampradaya tersebut antara lain (Putra, 2002) adalah Hare Krishna, Say Studi Group, Brahma Kumaris, Trancendental Meditation, Veerasaivisme, dan lain-lain. Secara alamiah, umat Hindu di Bali yang tergabung dalam berbagai soroh tidak menyukai keberadaan sampradaya-sampradaya tersebut. Hal ini terjadi karena mereka memiliki perbedaan penekan dalam menjalankan ajaran agamanya, yang satu lebih menekankan aspek spiritual, sedangkan yang lainnya lebih berkutat pada aspek ritual tanpa disertai upaya pemahaman filsafatnya. Tampak bahwa dalam berbagai sampradaya, terdapat upaya yang bersungguh-sungguh dalam memberikan pengetahuan rohani dan pendidikan nilai-nilai ajaran Veda kepada generasi muda Hindu khususnya, dan umat Hindu pada umumnya. Hasil dari kegiatan seperti itu adalah terciptanya generasi muda Hindu yang bertaqwa kepada Tuhan, memiliki budi pekerti yang luhur, dan bermoral tinggi. Namun demikian, kegiatan pendidikan nilai-nilai agama yang dilakukan oleh berbagai sampradaya tersebut masih mendapat tentangan dari kalanganpedanda, sulinggih dan brahmana keturunan yang masih membanggakan dirinya sebagai keturunan tri wangsa.

Dari pemaparan di atas, tampak jelas bahwa umat Hindu di Bali masih terperangkap pada konflik-konflik kepentingan dan kemelut antar kelompok, yang bersifat superfisial. Bahkan kepengurusan Parisada Hindu Dharma Indonesia sebagai lembaga tertinggi umat Hindu di Indonesia, ditengarai masih dimonopoli oleh kaum tri wangsa. Dominasi kepentingan kaum tri wangsa ini terlihat dengan jelas pada pelaksanaan Lokasabha IV PHDI Bali, yang jelas-jelas melanggar kebijaksanaan yang ditetapkan oleh PHDI Pusat, sebuah lembaga yang kedudukan dan wewenangnya lebih tinggi. Selain itu, terdapat kecenderungan umat Hindu di Bali untuk mencari identitas diri mereka dengan cara menelusuri kembali garis keturunan para leluhurnya. Mereka kemudian membentuk soroh, gotra, atau pungkusan yang dalam prakteknya menjadikan warga soroh tertentu membanggakan leluhurnya yang dianggap lebih tinggi derajatnya dari leluhur soroh yang lain.  Proses pembodohan umat juga masih dilakukan oleh golongan-golongan tertentu, misalnya dengan masih mempertahankan konsep Tri Sadhakaatau Tri Wangsa dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan. Ritual keagamaan dibuat sedemikian megah dan rumitnya dengan biaya yang mahal, tanpa disertai upaya penjelasan filosifi dan maknanya. Generasi muda Hindu yang mencoba melakukan revitalisasi dan pelurusan terhadap penyimpangan yang terjadi, dengan mengajak kembali pada ajaran Veda, justru dituduh ingin “meng-India-kan” Bali. Konflik-konflik kepentingan tersebut yang terjadi secara berkepanjangan, bermuara pada terabaikannya kegiatan pembinaan dan pendidikan nilai-nilai religius umat Hindu di Indonesia

Sumber pemicu konflik-konflik kepentingan tersebut dapat dengan jelas ditelusuri kembali asal-usulnya. Yaitu sebagai akibat masih kuatnya warisan pengaruh sistem kasta, atau sistemwangsa yang diperkenalkan oleh Dang Hyang Nirartha pada abad ke-15 Masehi. Sistem wangsatersebut berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam proses hilangnya komponen-komponen pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama Hindu kepada umat Hindu di Indonesia.

Sistem wangsa menganggap seseorang otomatis sebagai brahmana bila ia terlahir dalam keluarga brahmana. Padahal menurut konsep Catur Varna, seseorang disebut brahmana bukan karena kelahiran. Seseorang disebut brahmana bila ia memiliki sifat dan pekerjaan kebrahmanaan, yaitu : samah (kedamaian), damah (mengendalikan diri), tapah (pertapaan), saucam (kesucian), ksantih (toleransi), arjavam (sifat kejujuran), jnanam (pengetahuan),vijnanam (kebijaksanaan), dan astikyam (taat kepada prinsip keagamaan) sebagaimana yang diajarkan dalam Kitab Bhagavad-gita (18.42). Jelaslah bahwa pengakuan seseorang sebagai brahmana bukanlah tergantung pada kelahiran dan keturunannya, melainkan berdasarkan sifat-sifat mulia yang dimilikinya.

Dalam prakteknya, sistem wangsa di Bali mengakui seseorang sebagai brahmana, kalau ia lahir dalam garis keturunan Dang Hyang Dwijendra dan Dang Hyang Asthapaka. Padahal, perilaku mereka seringkali tidak mencerminkan kesucian dan perilaku seorang brahmana. Hal ini sama dengan seorang anak yang terlahir dalam keluarga dokter otomatis dianggap sebagai dokter. Sudah barang tentu dibutuhkan latihan dan pendidikan yang benar untuk melihat apakah anak tersebut memang memiliki bakat untuk menjadi dokter. Dalam praktek kesehariannya, para brahmana keturunan tersebut justru memelihara kebiasaan berjudi dan menyabung ayam dalam komplek-komplek tempat persembahyangan umat Hindu. Mereka tidak memiliki pengetahuan agama Hindu yang benar, dan melaksanakan berbagai ritual keagamaan hanya berdasarkan sistem gugon tuwon (dipercaya secara tradisi turun temurun) dan lebih bermotif ekonomi (Majalah Hindu Raditya, Juni 2002).

Dalam sistem brahmana keturunan seperti itu, tidak ada lagi yang dapat diharapkan menjadi seorang guru atau acarya (guru spiritual) dalam artian yang sesungguhnya. Karena dalam diri mereka tidak pernah terjadi pembelajaran ajaran-ajaran Veda, dan tidak pernah mempraktekkan ajaran-ajaran Veda tersebut secara tulus dalam keseharian mereka. Yang terjadi adalah upaya untuk mempertahankan posisi mereka di mata umat, dengan melakukan upaya-upaya pembodohan umat. Keadaan demikian yang berlangsung terus menerus di Bali, mengakibatkan terputusnya garis parampara Hindu di Bali.

Untuk mempertahankan sistem wangsa di Bali golongan brahmana keturunan berusaha menghalangi orang-orang muda Hindu yang ingin belajar Veda. Mereka menyebarkan paham bahwa Veda bersifat keramat, sakral, dan tidak boleh di baca oleh sembarangan orang. ”Sakaralisasi” Veda ala sistem wangsa tersebut sangat berbeda dengan pola pendidikan gurukulayang merupakan sistem pendidikan tradisional dalam kebudayaan Veda. Dalam kebudayaan Veda, sejak dini seseorang mulai diajarkan untuk mempelajari Veda, bahkan sejak usia lima tahun hingga usia lebih kurang dua puluh lima tahun, tergantung kepada kemampuan siswa tersebut. Dalam masa brahmacari seperti, seseorang dikirim ke rumah seorang guru atau acaryauntuk tinggal bersama mereka dan mempelajari Veda di bawah bimbingan orang-orang yang terpelajar dalam pengetahuan Veda. Mereka menjadi sisya (murid) dengan cara tinggal di asrama atau tempat pemondokan yang disediakan oleh gurunya. Oleh karena itulah, pola pendidikan seperti itu disebut gurukula. Dengan sistem wangsa seperti di Bali yang mengkeramatkan Veda, dapat dimengerti mengapa pendidikan tradisional agama Hindu di Indonesia menjadi tidak berfungsi hingga saat ini. Ini merupakan salah satu bukti lagi penyimpangan dari sifat seorang brahmana menurut Veda. Seseorang disebut brahmana sejati, bukan menurut garis kelahiran dan keturunan, bila ia terpelajar dan menguasai pengetahuan Veda, dan berusaha dengan segala kemampuannya untuk mengajarkan pengetahuan spiritual itu kepada masyarakat. Bila tidak demikian, ia tidak dapat diakui sebagai seorang brahmana, walaupun terlahir sebagai anak seorang brahmana.

Sistem wangsa di Bali juga bertanggung jawab terhadap kurangnya kesadaran umat Hindu di Bali untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan agama Hindu di Indonesia. Terjadi persaingan antar golongan dalam upaya meraih pengakuan masyarakat terhadap status sosial mereka. Mereka lebih rela berlomba-lomba menyumbangkan dana untuk melaksanakan upacara-upacara adat atau pembangunan pura yang megah yang membutuhkan biaya tinggi. Menurut data statistik,  penduduk Bali memiliki tingkat pendapatan perkapita tertinggi di seluruh Indonesia. Namun  besarnya pendapatan tersebut belum dibarengi dengan kesadaran untuk mengalokasikan dana guna pengembangan pendidikan bagi generasi muda Hindu.


Dikutip dengan sedikit perubahan dari Thesis Suryanto, M.Pd berjudul “Problematika Penyelenggaraan Pendidikan  Berbasis Hindu  Di Indonesia: Sebuah Kajian dari Perspektif Pendidikan  Hindu Tradisional Model Gurukula Di India